Paradigma Masyarakat, Behaviour, dan Budaya sebagai Satu Kesatuan dalam
Peningkatan atau Penurunan Nilai Kesehatan
Jika kita telaah lebih lanjut, ketiga hal tersebut ternyata sangat mempengaruhi suatu nilai
kesehatan dalam kehidupan kita.
Masih perlu kita pertanyakan megenai paradigma sehat menurut masyarakat-masyarakat pada
umumnya. Karena berdasarkan asumsi saya, kebanyakan masyarakat kita masih
berpandangan bahwa kesehatan itu adalah sikap kuratif dan rehabilitatif yg menjadi unsur
pembangunnya, bukan sikap promotif dan preventif. oleh karena itu paradigma masyarakat
yang seperti ini lah yang semestinya kita ubah sedikit demi sedikit. Karena mau sebaik
apapun penyuluhan kita terhadap masyarakat, jika paradigma tersebut belum mampu kita
ubah, maka kita sebagai pelaku promosi kesehatan akan menemukan kesulitan dalam tujuan
kita untuk meningkatkan nilai kesehatan tadi.
Lanjut ke tahapan kebiasaan. Karena menurut saya kebiasaan satu individu sangat
dipengaruhi oleh ideologi bahkan paradigma dalam membangun sikap tersebut. Jadi bisa saya
katakan bahwa paradigma adalah faktor sentral dalam mempengaruhi kebiasaan atau
tindakan-tindakan yng kita lakukan. Tetapi kebiasaan yang kita lakukan itu bisa saja
mempengaruhi paradigma-paradigma individu lain. Sebagai contoh : “dalam suatu
masyarakat yang nilai kesehatan nya masih rendah (dilihat dari paradigma individu-individu
dalam masyaakat tersebut yang masih belum peduli terhadap lingkungan sekitarnya) pasti
ada setidaknya satu orang yang sangat berpengaruh dan dijadikan sosok panutan dalam
masyarakat tersebut, kita ambil ketua RT. Nah apabila kebiasaan ketua RT tersebut sangat
mendukung dalam peningkatan nilai-niai kesehatan seperti membersihkan selokan dll.
Tentunya masyarakat yang tadinya belum sadar akan hal itu, menjadi sadar karena kebiasaan
sang ketua RT tersebut.” Dalam hal ini kita bisa simpulkan bahwa kebiasaan tersebut
memang dipengaruhi oleh paradigma, tetapi kebiasaan satu orang juga dapat mempengaruhi
paradigma-paradigma individu-individu lain. Sehingga hubungan paradigma dan kebiasaan
sangat relevan.
Muncul satu hal lagi yang sangat penting, yaitu “Budaya”. Saya memiliki pandangan bahwa
budaya ini terbentuk atas dasar penggabungan dari paradigma dan kebiasaan, sehingga ia
menghasilkan sesuatu yang disebut budaya atau kebudayaan. Namun kebudayaan apa yang
akan kita bahas disini? Tentu saja Budaya seseorang atau masyarakat untuk hidup sehat baik
secara jasmani, rohani atau sosial. Dan lagi budaya juga erat kaitannya dengan sikap. Oleh
karena itu budaya tersebut dipengaruhi langsung oleh suatu kebiasaan.
Kita sebagai praktisi promosi kesehatan sangat mengharapkan budaya masyarakat yang sehat,
baik itu untuk dirinya, untuk keluarganya, untuk masyarakatnya bahkan untuk
lingkungannya. Sehigga bukan persoalan lagi bahwa masyarakat Indonesia ini akan semakin
tinggi nilai kesehatannya.
Oleh karena itu marilah kita ubah paradigma kita mengenai kesehatan agar bisa berpengaruh
terhadap kebiasaan yang kita jalani. Dan berujung pada budaya yang sangat mementingkan
kesehatan, dimana hal ini mutlak dimiliki oleh setiap individu untuk melakukan segala
aktifitas secara optimal, sehingga nilai kehidupan kita pun senantiasa bermakna.
Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan
a. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan
Paradigma adalah asumsi teoritis yang umum (merupakan suatu sumber nilai) yang
merupakan sumber hukum, metode serta cara penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga
sangat menentukan sifat, ciri,dan karakter ilmu pengetahuan tersebut.
Paradigma juga dapat diartikan sebagai cara pandang, nilai- nilai, metode-metode,
prinsip dasar atau cara memecahkan masalah yang dianut oleh suatu masyarakat pada masa
tertentu. Dalam pembangunan nasional, Pancasila adalah sebuah paradigma karena hendak
dijadikan sebagai landasan, acuan, metode, nilai, dan tujuan yang ingin dicapai di setiap
program pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Makna, hakikat, dan tujuan pembangunan nasional.
Pembangunan nasional dapat diartikan sebagai rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan dan meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara untuk
melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional.
Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya
dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya.
Pembangunan nasional dilaksanakan untuk mewujudkan tujuan nasional seperti
termaktub dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV, yaitu....melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian
PARADIGMA SPIRITUALITAS DALAM TRADISI SINOMAN
(Pengamatan atas Tradisi Sinoman dalam Masyarakat Desa Bermi Kab.
Demak)
Dilihat dari tipikal paradigma spiritual, masyarakat Desa Bermi Kab.
Demak mempunyai tipikal sebagai masyarakat santri, sebagaimana tipikal
keagamaan masyarakat Demak pada umumnya. Menurut ilmuan sosial,
pola kultural keagamaan masyarakat pesisir utara Pulau Jawa, termasuk
wilayah Kab. Demak pada umumnya mempunyai pola kebudayaan
dengan wawasan kultural yang bersendikan agama, atau lazim disebut
masyarakat “santri”.4 Menurut Greertz, nampaknya pola keberagamaan
masyarakat muslim pesisir berbeda dengan pola keberagamaan masyarakat
muslim pedalaman atau non-pesisir.5 Tipikal santri nampak dari tradisi
3 John L. Eposito, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic, World, New York,
1995, III, p. 218
4 Lihat Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan,
(Yogyakarta: LkiS), 1999, hlm.113. Lihat Clifford Geertz, The Religion of Java, (Chicago:
The
University of Chocago Press), 1976, hlm. 127
5Bagi masyarakat Jawa secara umum, Islam merupakan kekuatan dominan di dalam
ritus-ritus, kepercayaan-kepercayaan serta ia turut membentuk karakter interaksi sosial dan
kehidupan sehari-hari bagi kebanyakan masyarakat Jawa.Namun sifat ke-Islaman
masyarakat Jawa, mempunyai fenomena yang berbeda antara Islam Pesisir Jawa dan Islam
6
keagamaan serta bentuk interaksi sosial yang berkembang dalam
masyarakat, masih terikat kuat dengan norma agama dan menempatkan
kyai tradisional sebagai pemimpin masyarakat. Peran kyai sangat strategis
dalam interaksi dan strata sosial masyarakat. Kyai dipandang mempunyai
posisi dan pengaruh terkuat dalam lingkungan masyarakat. Hampir
permasalahan sosial selalu merujuk pada pendapat atau pandangan kyai,
termasuk dalam menentukan pilihan politik.
Karena karakter paradigma yang bersifat tradisionalis agamis
sebagaimana disebut diatas, maka sebagian besar masyarakat Desa Bermi
berafiliasi pada jam’iyah NU (Nahdhatul Ulama) 6, dengan menempatkan
kyai sebagai posisi sosial tertinggi. Sebagai masyarakat santri NU,
masyarakat Desa Bermi mempunyai tradisi-tradisi keagamaan yang
berbeda dengan tradisi keagamaan masyarakat santri lainnya, seperti
Muhammadiyah dan sebagainya.
Dilihat dari tipikal paradigma keagamaan yang demikian, tradisi
sinoman tidak dapat dipisahkan dari pola keberagamaan masyarakat NU
pedesaan, yang cenderung pada pola keberagamaan ahl al-sunnah wa aljama’ah
dan menghidupkan tradisi-tradisi, termasuk tradisi sosial sebagai
peninggalan masyarakat sebelumnya. Kecenderungan masyarakat NU
adalah menghormati tradisi dan berusaha untuk menghidupkannya dalam
Jawa Pedalaman. Untuk lebih lengkapnya baca Mark R. Woodward, “Islam Jawa”, op. cit.,
hlm. 4. Statemen tersebut merupakan gambaran fenomena keagamaan yang melekat dalam
masyarakat Jawa, yang dikemukakan dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan baik oleh
para ilmuwan dalam negeri maupun oleh para pemerhati dari luar negeri seperti Clifford
Geertz, Anthoni Johns, Karel Stenbrink atau Roland Aland Lukend Bulls dan lain
sebagainya.
6 Secara histories, NU merupakan organisasi keagamaan yang didirikan oleh K. H.
Hasyim Asy’ari pada tahun 1926. NU adalah organisasi yang diikuti oleh kalangan muslim
tradisionalis. Karena itulah, NU memiliki basis social yang kuat dikalangan pesantren
tradisional, tempat dimana para santri tinggal dan menuntut ilmu agama yang tertulis dalam
kitab kuning dibawah asuhan para kyai. Kebanyakan pesantren yang ada di Indonesia
memiliki afiliasi organisatoris dengan NU, dan kebanyakan dari mereka juga menganut
faham Sunni. Lebih lanjut lihat. Slamet Effendi Yusuf, et.al., Dinamika Kaum Santri :
Menelusuri Jejak & Pergolakan Internal NU, (Jakarta: Rajawali, 1983), hal. 6-7.
7
kehidupan masyarakat. Tradisi Sinoman yang merupakan peninggalan dari
para penyebar Islam di Desa Bermi, menjadi tradisi yang diwarisi oleh
generasi selanjutnya untuk menghidupkan syiar Islam. Tradisi sinoman
merupakan ekspresi dari pemahaman keagamaan yang diyakini oleh
pelakunya; kemudian direalisasikan dalam kehidupan sosial serta menjadi
suatu tradisi sosial yang berbasis keyakinan atau paradigma keagamaan.
Tradisi sinoman merupakan gerakan kultural yang mempunyai makna yang
sarat dengan pengamalan atau realisasi keyakinan keagamaan.
C. Asal Usul Tradisi Sinoman
Keberadaan tradisi sinoman dalam masyarakat Desa Bermi, tidak
dapat dipisahkan dari sejarah dakwah Islam di Desa tersebut. Ia menjadi
simbol sosial yang sarat dengan muatan dakwah yang dipraktekkan sebagai
salah satu cara untuk menyebarkan ajaran Islam melalui pendekatan sosial.
Keterlibatan para tokoh agama menjadi sangat menentukan bagi
perkembangan tradisi sinoman.
Karena peran tokoh agama yang strategis dalam setiap sinoman,
sepertinya melekat identitas, bahwa sinoman adalah suatu tradisi agama
yang berdimensi sosial. Sisi lain, juga dapat diketahui bahwa biasanya
dalam awal penawaran sinoman dala masyarakat Desa Bermi, kebanyakan
dibuka bersamaan dengan acara-acara keagamaan, seperti manaqiban.
Alasan kuat yang menjadi dasar tumbuhnya tradisi ini, adalah
kondisi sosial masyarakat Desa Bermi yang di samping mengalami krisis
keagamaan juga dihinggapi kondisi kemiskinan, khususnya pada era
tahun 1960. Pada saat itu, kondisi masyarakat pada umumnya termasuk
masyarakat Desa Bermi mengalami kemarau panjang sehingga terjadi
krisis makanan (longko makanan), ditambah kondisi sosial politik bangsa
yang masih tidak menentu, sehingga menambah penderitaan rakyat.
Kondisi inilah yang menarik partai besar seperti Partai Komunis
(PKI) menawarkan harapan kepada masyarakat dan merekrut mereka
8
untuk bergabung dalam barisan partai. Kantong-kantong kemiskinan
memang menjadi sasaran partai komunis untuk menarik dukungan warga
masyarakat.
Karena kondisi inilah, para santri (tokoh agama) berusaha untuk
melawan propaganda menyesatkan dengan melancarkan jihad untuk
menyelamatkan masyarakat dari hasutan dan tekanan komunis. Dari
sinilah tradisi sinoman mulai berkembang sebagai salah satu langkah
untuk mengantisipasi hasutan dan intimidasi partai komunis.
Kemudian bersamaan dengan semakin membaiknya kondisi sosial
politik bangsa Indonesia, khususnya setelah Gestapu 1965, bersamaan
dengan dikeluarkannya kebijakan politik dilarangnya Partai Komunis,
tradisi sinoman semakin berkembang menjadi tradisi yang dapat
merekatkan masyarakat dalam kerukunan dan persaudaraan.
D. Ragam Tradisi Sinoman
Yang disebutkan berikut adalah hanya beberapa model sinoman,
yang dianggap cukup signifikan bagi pengamatan sinoman dalam
penelitian ini.
1. Ngedekke Omah atau mendirikan rumah
Mendirikan rumah atau tempat tinggal dalam prakteknya
membutuhkan cukup dana. Karena banyaknya kebutuhan, tidak jarang
dana atau anggaran yang tersedia sangat kurang dari memadai. Banyak di
antara mereka yang sudah menabung barang material yang dibutuhkan
untuk membangun rumah memalului sinoman. Biasanya mereka
merencanakan jauh sebelum membangun rumah, tentang segala
kebutuhan dalam mendirikan sebuah rumah dengan ikut sinoman atau
menaruh barang material sepeti kayu, semen, pasir pada tetangga yang
membangun duluan. Maka pada gilirannya, setelah dirasa cukup matreal
yang tersimpan di tempat tetangga, barulah diputuskan waktu yang tepat
9
untuk mendirikan rumah. Sedangkan kekurangannya, mereka dapat
membuka peluang bagi para tetangga atau famili mereka untuk ikut
sinoman atau menaruh barang-barang yang dibutuhkan. Sehingga,
kekurangan dana atau anggaran tidak menghalangi rencana mendirikan
rumah, karena ditopang oleh hasil sinoman.
Dilihat dari sisi ragam yang didapat dari sinoman yang ditawarkan
oleh yang berhajat dalam mendirikan rumah, terdapat antara lain: barangbarang
matreal, seperti semen, kayu, genteng, kaca, batu, paku, batu bata
dan sebagainya. Bentuk lainnya dapat berupa rokok, beras, atau
kebutuhan dapur lainnya yang dibutuhkan untuk melayani para tukang
dan pekerja sambatan. Di samping bentuk matereal dalam membangun
rumah, terdapat pula bentuk sinoman tenaga atau jasa, seperti para
pekerja sambatan yang ikut membantu dalam mendirikan rumah.
Biasanya si punya rumah (yang berhajat) menghitung berapa hari mereka
ikut sambatan, dan jika pekerja punya hajat, ia harus membayarnya dengan
menjadi pekerja sambatan paling tidak dalam hitungan hari yang sama.
2. Ngerjake Sawah (menggarap sawah atau ladang)
Menggarap sawah membutuhkan banyak tenaga. Karena banyaknya
tenaga yang dibutuhkan tidak sedikit di antara warga yang merasa
keberatan untuk menggaji (membayar) tenaga yang dibutuhkan tersebut.
Di sisi lain, ketika musim tanam tiba, mencari tenaga menjadi kesulitan
tersendiri, karena masing-masing punya kesibukan sendiri-sendiri. Maka
sebagian dari mereka melakukan ‘sinoman pekerjaan’ atau ‘sinoman
tenaga’ dalam mengerjakan sawah atau ladang, dengan hitungan atau
perimbangan tenaga laki-laki dengan laki-laki dan tenaga perempuan
dengan perempuan, di samping terdapat perimbangan jumlah hari kerja.
3. Duwe Gawe (Mempunyai Hajat)
Secara umum duwe gawe atau hajatan pada prakteknya
membutuhkan biaya yang relatif banyak, terutama pada momen acara
10
seperti duwe gawe mantenan, ngunduh mantu atau sunatan. Di samping
ngundang banyak tamu atau kondangan, juga pihak yang berhajat
mengundang sanak tetangga dan famili untuk acara selamatan, sebagai
serangkaian dari kegiatan duwe gawe. Maka tuan rumah harus
menyediakan suguhan lebih untuk undangan dalam kondangan dan para
undangan selamatan. Maka wajar apabila seseorang atau hendak
mempunyai hajat sebagaimana disebut di atas haruslah mempersiapkan
dana yang cukup.
Karena menyelenggarakan upacara hajatan atau duwe gawe
membutuhkan dana yang tidak sedikit dan tenaga yang dibutuhkan untuk
membantu cukup banyak, artinya jika ditanggung sendiri dirasa cukup
berat, maka masyarakat Desa Bermi telah lama mentradisikan sinoman
dalam menyelenggarakan hajatan atau duwe gawe. Praktek sinoman
dalam hajatan atau duwe gawe, modelnya hampir sama dengan sinoman
ngedekke rumah, hanya saja dalam sinoman hajatan atau duwe gawe,
barang yang ditawarkan adalah barang yang dibutuhkan bagi orang duwe
gawe, seperti beras, daging, kelapa, rokoh, panganan dan sebagainya.
4. Kesripahan (Upacara untuk Orang yang Meninggal)
Dalam realitanya, menyelenggarakan upacara atau acara selamatan
bagi arwah keluarga yang telah meninggal membutuhkan dana yang
relatif banyak, karena di samping shohibul musibah harus menyuguhkan
makanan secukupnya, baik untuk dimakan di tempat maupun untuk
dibawa pulang para undangan sebagai buah tangan. Dan sudah menjadi
tradisi bahwa makanan yang disediakan harus beraneka ragam, terdiri
dari bermacam kue, nasi serta beberapa lauk pauk atau daging. Karena
tradisi tersebut sudah sudah mendarah daging dalam kehidupan
masyarakat, sehingga kadang-kadang sering dipaksakan untuk
dilaksanakan walaupun sedang tidak punya uang. Dan mereka merasa
11
malu bila makanan yang disuguhkan atau dibawa pulang oleh para
undangan hanya ala kadarnya.
Mengingat besarnya dana yang dibutuhkan untuk
menyelenggarakan acara atau upacara selamatan bagi arwah yang telah
meninggal, maka sinoman menjadi salah satu alternatif bagi penyelesaian
masalah kekuarangan dana dalam upaya merealisasikan upacara
selamatan tersebut. Bentuk sinoman dalam konteks ini, hampir sama
dengan sinoman hajatan atau duwe gawe, yakni berupa barang-barang
kebutuhan dapur yang diperuntukkan untuk menyuguhi tamu atau
undangan, diantaranya beras, gula, daging, rokok, kelapa dan kebutuhan
dapur lainnya.
E. Eksistensi Tradisi Sinoman dalam Masyarakat
Sebagai sebuah tradisi, sinoman menjadi bagian integral dari
kehidupan masyarakat Desa Bermi Kab. Demak. Ia selalu menjadi bagian
dari hampir setiap aktifitas masyarakat, terutama aktifitas yang
membutuhkan bantuan orang lain. Secara fungsional, tradisi sinoman
dirasakan oleh masyarakat, ia bukan saja bermanfaat bagi setiap anggota
masyarakat secara personal, namun terdapat fungsi lain yang sangat urgen
dalam kehidupan bermasyarakat. Di antara fungsi tradisi sinoman dalam
masyarakat Desa Bermi Kab. Demak, antara lain :
Pertama, Perekat Sosial (Social Integration). Sebagai alat integrasi,
tradisi sinoman mempunyai karakter yang dapat dipahami sebagai tradisi
khas suatu masyarakat. Pertama: tradisi sinoman dapat mengintegrasikan
masyarakat tanpa melihat status sosial masyarakat dalam kehidupan
masyarakat Desa Bermi Kab. Demak. Ia dapat mempertemukan antar
warga masyarakat dalam satu kepentingan seperti membantu orang yang
berhajat. Melalui tradisi ini, dapat bertemu antara yang miskin dan yang
kaya bersama-sama membantu orang yang membutuhkan, sesuai dengan
12
tingkat kemampuan mereka dan melihat kebutuhan atau kepentingan
mereka ke depan. Kedua: tradisi sinoman dapat menjadi salah satu ukuran
atau standar tentang tingkat sosial dari warga masyarakat. Hal ini dapat
dilihat dari peran tradisi sinoman dalam kehidupan masyarakat Desa
Bermi Kab. Demak yang menempati posisi sebagai tradisi sosial yang erat
dengan kehidupan bermasyarakat. Ia menjadi salah satu tradisi, yang
dapat dijadikan sebagai alat takar, khususnya dalam mengukur apakah
seseorang termasuk warga yang dapat hidup bermasyarakat atau tidak.
Kedua, Penopang Tradisi Agama.Tradisi sinoman merupakan tradisi
yang lahir dari masyarakat yang mempunyai latar belakang keagamaan.
Sebagai masyarakat yang mempunyai latar belakang keagamaan,
masyarakat Desa Bermi Kab. Demak, secara umum mempunyai
pandangan bahwa pelaksanaan tradisi sinoman dalam kehidupan
masyarakat tidak dapat dipisahkan dari kegiatan keagamaan. Ia diyakini
oleh masyarakat sebagai salah satu amal sosial dan dinilainya sebagai
ibadah yang mempunyai makna spiritual. Hal ini nampak, bahwa dalam
melaksanakan sinoman, selalu didahului dengan penyelenggaraan acara
ritual, seperti pembacaan manaqib syekh Abdul Qadir al-Jailani. Sampai
sekarang, mereka meyakini bahwa penyelenggaraan manaqiban dalam
serangkaian kegiatan sinoman merupakan rangkaian yang tidak
terpisahkan, dengan harapan pertolongan Allah akan memudahkan bagi
terealisasinya hajat masyarakat.
Di sisi lain, tradisi sinoman tidak dapat dipisahkan dari sejarah
dakwah Islam dalam masyarakat Desa Bermi Kab. Demak. Ia merupakan
salah satu model pendekatan yang digunakan oleh tokoh-tokoh agama
pada waktu itu, untuk menyebarkan ajaran Islam kepada seluruh lapisan
masyarakat melalui kegiatan sosial, seperti sinoman.
F. Karakteristik Motif Spiritual Pelaku Sinoman
Penyelenggaraan sinoman mempunyai karakteristik khas, sebagai
tradisi sosial yang mempunyai nuansa spiritual keagamaan. Beberapa
karakteristik yang dapat dijadikan pijakan untuk menilai karakteristik
spiritual dalam penyelenggaraan tradisi sinoman, di antaranya;
Pertama: terdapat keyakinan pelaku sinoman, bahwa mereka sadar
mengikuti sinoman sebagai bagian dari perintah agama, khususnya
menolong atau membantu orang yang sedang membutuhkan atau
mempunyai hajat adalah diwajibkan oleh agama. Mereka meyakini bahwa
membantu sesamanya dengan ikhlas akan mendatangkan barakah pada
kehidupan keluarga mereka. Sehingga mengikuti sinoman tidak lain adalah
amal ibadah yang mempunyai nilai spiritual yang tinggi.
Karakteristik keagamaan terkait dalam tradisi sinoman nampak
pada dari keyakinan atau persepsi masyarakat Desa Bermi Kab. Demak
dalam mengikuti tradisi sinoman. Bagaimanapun tradisi sinoman adalah
sebuah ibadah agama, tentunya motif seseorang untuk terlibat dalam
tradisi tersebut, berangkat dari keyakinan mereka terhadap ajaran agama.
Kedua: adanya acara ritual dalam serangkaian kegiatan sinoman,
yakni manaqiban yang diselenggarakan sebagai langkah awal dan pembuka
sebelum melakukan sinoman. Manaqiban adalah serangkaian kegiatan do’a
yang dibuka dengan terlebih dahulu membaca sirah atau manaqib Syeh
Abdul Qadir al-Jailani, serta pembacaan tahlil, kemudian ditutup dengan
do’a-do’a. Dalam serangkaian doanya, di samping dibaca do’a manaqib,
juga dibaca do’a ‘akasah, yang diyakini sangat makbul, khususnya untuk
terealisasinya harapan bagi orang yang sedang punya hajat.
Penyelenggaraan ritual manaqiban dalam serangkaian kegiatan
sinoman dalam masyarakat Desa Bermi Kab. Demak, mengindikasikan
bahwa karakteristik spiritualitas nampak dalam keyakinan mereka. Ada
kepercayaan dengan membaca sirah tersebut, karamah wali Syeh Abdul
Qadir al-Jailani akan dapat memberikan barakah bagi kehidupan mereka.
14
Ketiga: peran kyai atau ulama dalam serangkaian penyelenggaraan
tradisi sinoman. Artinya bahwa penyelenggaraan tradisi sinoman terkait
dengan jaringan informal warga masyarakat yang berpusat pada kyai atau
ulama sebagai pemimpin umat sekaligus tokoh dalam masyarakat di
wilayahnya masing-masing. Bagaimanapun kyai merupakan unsur
terpenting dalam setiap penyelenggaraan tradisi sinoman yang sama
pentingnya dalam kegiatan ritual-ritual.
Hal ini tidak dapat dipungkiri, bahwa seluruh warga Desa Bermi
Kab. Demak merupakan warga nahdhiyin. Dalam tradisi warga nahdhiyin,
kyai merupakan tokoh (figur) panutan dalam masyarakat dan ia dititahkan
sebagai pemimpin keagamaan sekaligus pemimpin sosial (umat).
Kepatuhan kepada kyai bagi warga nahdhiyin merupakan keharusan yang
tidak terbantahkan. Apapun yang difatwakan kyai atau ulama diyakini
sebagai solusi terbaik. Sehingga dapat dikatakan bahwa kaum nahdhiyin
adalah komunitas yang mempunyai pandangan ‘serba kyai’, artinya kyai
merupakan elemen terpenting dalam masyarakat dan menjadi rujukan
warga dalam setiap mengambil kebijakan (keputusan).
G. Polarisasi makna Tradisi Sinoman.
Sekalipun telah dipahami bahwa tradisi sinoman mengandung
makna ritual (ibadah) dan sekaligus makna sosial sebagaimana dibahas di
atas, namun beberapa hal nampak munculnya indikasi telah terjadinya
pergeseran nilai sejalan dengan perubahan zaman.
Kondisi krisis ekonomi pasca Orde Baru yang mengakibatkan
naiknya harga-harga barang, biaya hidup makin tinggi membawa pengaruh
langsung pada cara pandang masyarakat Desa Bermi Kab. Demak, termasuk
kemungkinan motif dalam mengikuti sinoman. Tidak dapat dipungkiri
bahwa penyelenggaraan tradisi sinoman mempunyai korelasi dengan
dimensi-dimensi teologis, sosial, politik bahkan ekonomi.
15
Dalam perspektif ekonomi, tradisi sinoman merupakan aktifitas yang
mengandung nilai ekonomi yang signifikan. Karena beberapa keuntungan
materi jelas akan didapatkan, khususnya bagi mereka yang menaruh barang
dan akan menagihnya kembali pada saat ia membutuhkan, sementara nilai
barang telah melonjak tinggi. Gambaran di atas, diakui oleh kebanyakan
responden yang peneliti temui, umumnya mereka mengakui bahwa
mengikuti sinoman mempunyai keuntungan secara materi, khususnya di
saat harga barang fluktuatif dan cenderung naik.
Walapun tanggapan kebanyakan responden menjawab bahwa motif
utama yang mendasari masyarakat mengikuti sinoman adalah dorongan
agama (76,6%), atau motif dapat bersosial (20%), namun menurut para
responden (hampir semuanya responden yang peneliti wawancarai)
membenarkan adanya keuntungan ekonomi dalam mengikuti sinoman,
baik oleh yang menyelenggarakan sinoman maupun partisipan sinoman.
Namun menurut mereka, motif ekonomi bukanlah satu-satunya alasan
untuk seseorang mengikuti tradisi sinoman, sebab cara pandang
masyarakat desa bersifat sederhana serta tidak dapat diklasifikasikan
semata-mata sebagai pertimbangan materialis yang berdasar pada kalkulasi
untung rugi dalam mengikuti tradisi sinoman.
Dari hasil penelusuran dan wawancara terhadap respondenresponden,
nampak bahwa gejala yang nampak dipermukaan, secara
substansial mendudukkan tradisi sinoman mempunyai fungsi-fungsi atau
makna-makna, termasuk fungsi atau makna ekonomi dalam masyarakat
Desa Bermi kab. Demak. Fungsi ekonomi terutama nampak jelas pada
potensinya menjamin ketersediaan dana atau barang yang dibutuhkan
dalam waktu ketika seseorang sedang mempunyai hajat. Sedangkan bagi
partisipan, mengikuti sinoman dengan menaruh barang tertentu pada
penyelenggara sinoman, merupakan bagian dari persiapan atau tabungan,
16
untuk kepentingan pada waktu mendatang, tentunya dengan barang
semisal yang nilai harganya lebih tinggi.
Keuntungan-keuntungan yang dirasakan langsung oleh
penyelenggara maupun partisipan tradisi sinoman dalam konteks dan
perspektif tertentu merupakan efek langsung yang tidak dapat diabaikan
dari sistem tradisi sinoman. Jaminan ketersediaan dana atau barang yang
dibutuhkan bagi penyelenggara sinoman dan kemungkinan kelebihan
harga dari barang yang dititipkan oleh para partisipan merupakan efek
ekonomi yang khas dan melengkapi makna atau fungsi spiritual maupun
sosial yang melekat dalam penyelenggaraan tradisi sinoman masyarakat
Desa Bermi Kab. Demak.
Akhirnya, penelitian ini dalam batas tertentu dapat menangkap
terjadinya polarisasi makna dalam tradisi sinoman dari tradisi yang
bersendikan makna spiritual keagamaan dalam perspektif historisnya
kepada tradisi yang menjanjikan keuntungan-keuntungan materi,
khususnya dalam kondisi krisis ekonomi seperti yang sekarang ini.
H. KESIMPULAN
Dari temuan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Tradisi sinoman adalah tradisi sosial yang mengandung dimensi-dimensi
spiritual. Indikasinya adalah motif spiritualitas dari pelaku sinoman dan
kegiatan ritual spiritualitas (manaqiban) menjadi bagian integral dalam
penyelenggaraan sinoman.
2. Tradisi Sinoman merupakan bagian integral dari setiap aktifitas
masyarakat, terutama aktifitas yang membutuhkan bantuan orang lain.
Keberadaan tradisi sinoman dalam masyarakat Desa Bermi Kab. Demak
mempunyai fungsi sebagai alat integrasi sosial serta penopang dakwah
agama.
17
3. Fungsi ekonomi Tradisi Sinoman, nampak pada potensinya menjamin
ketersediaan dana atau barang yang dibutuhkan ketika seseorang
mempunyai hajat. Sedangkan bagi partisipan sinoman, merupakan
bagian dari tabungan, untuk kepentingan waktu mendatang. Akhirnya,
dalam batas tertentu dapat ditangkap terjadinya polarisasi makna tradisi
sinoman dari tradisi yang bersendikan makna spiritual keagamaan dalam
perspektif historisnya kepada tradisi yang menjanjikan keuntungankeuntungan
materi.
DAFTAR PUSTAKA
Bernstein, A., Douglas, Essentials of Psychology, New York: Houghton Mifflin,
1999.
Dlofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1990.
Eposito, L., John, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic, (World, New
York, 1995).
Faisal, Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi, (Jakarta: Gramedia, 1990).
Geertz, Clifford, The Religion of Java, (Chicago: The University of Chocago Press),
1976
Goode & Hatt, Methods in Social Research, (Tokyo: Mc Graw-Hill Kogakhusa
Ltd., 1952).
Hardjowirogo, Marbangun, Adat Istiadat Jawa, (Bandung: Patma), t.t.
J.K., David, Filsafat Jawa, (Jakarta: Airlangga), 1986.
Jong, De, Salah satu sikap hidup orang jawa, (Yogyakarta: Kanisius), 1976.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984)
--------------------, Metode-Metode penelitian masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1997)
Muhadjir, metodologi penelitian kualitatif, (Yogyakarta: Rakesarasin, 1996).
Mulder, Niels, kebatinan dan kehidupan sehari-hari orang jawa, edisi terjemahan,
(Jakarta: Gramedia, 1983).
Nasikun, DR., Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995).
Nottingham, K., Elizabeth, Agama dan Masyarakat (Suatu Pengantar Sosiologi
Agama), (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 1997
18
Parsons, Talcott dan Shils, A., Edward, Toward A General theory of Action, 1962
Pemerintah Kabupaten Demak, Buku Isian Data Dasar Profil Desa, 2000
Roland Alan Lukens Bull, A Peacefull Jihad: Javanese Islamic Education and
Religious Identity Construction, (Arizona: Arizona State University, 1997 ).
Shadily, Hassan, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, (Jakarta : Bina Aksara,
1983)
Siswanto, Joko, Sistem Metafisika Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998).
Soedarsono dkk., Beberapa Aspek Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Javanologi, 1986)
Soetandya, Globalisasi : Apa yang perlu kita ketahui ?, Makalah, 1997
Suseno, Magnis, Franz, Etika Jawa, (Yogyakarta: Gramedia, 1993)
Tart, T., Charles, Transpersonal Psychologies, (New York : Happer & Row , 1969)
Veeger, K.J., 1986, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas hubungan individu
masyarakat dalam cakrawala sejarah sosiologi, (Jakarta: Gramedia, 1999)
Woodward, R., Mark, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan,
(Yogyakarta: LkiS, 1999)
Yusuf, Effendi, Slamet, et.al., Dinamika Kaum Santri : Menelusuri Jejak &
Pergolakan Internal NU, (Jakarta: Rajawali, 1983).
Pergeseran Paradigma di Era Globalisasi
Onno W. Purbo
Institut Teknologi Bandung
Tulisan ini difokuskan pada pergeseran yang mendasar pada berbagai paradigma khususnya dalam
dunia pendidikan & pengetahuan di era informasi mendatang. Keberadaan teknologi informasi,
jaringan Internet dan percepatan aliran informasi menjadi dasar dari pergeseran tersebut. Kekuatan
knowledge menjadi terlihat dengan jelas dengan adanya percepatan transaksi informasi melalui
jaringan Internet.
Bayangkan - Alangkah mulianya pekerjaan seorang guru yang mengajar satu juta murid dalam waktu
yang bersamaan; betapa cepatnya ilmu pengetahuan tersebar. Bayangkan jika kita dapat dengan
mudah berbincang dengan Presiden B.J. Habibie & para menteri pembantu yang menurut kabar
telah menggunakan E-mail; alangkah indahnya hidup ini jika aspirasi rakyat banyak dapat dengan
cepat mencapai & bahkan berinteraksi langsung dengan pimpinan tertinggi negara tanpa perlu takut
di sensor, di ciduk, di culik oleh aparat BKO. Menjadi seorang exportir ke seluruh penjuru dunia yang
berpenghasilan US$ menjadi demikian mudah. Bayangkan - batas antar negara hanya berjarak
antara ujung jari anda dengan keyboard!
Tampaknya semuanya demikian mudah, tentunya ada prasyarat yang menyebabkan hal-hal yang
tampaknya demikian mudah menjadi mungkin. Satu hal yang sangat dominan sekali di dunia
informasi adalah bahwa "keberhasilan seseorang / sebuah badan akan sangat ditentukan pada
knowledge yang dihasilkan oleh orang / lembaga tersebut". Jelas bahwa keberhasilan seseorang
sama sekali tidak ada kaitan dengan jabatan / kekuasaan orang tersebut; siapa orang tua-nya;
bagaimana koneksi dia dengan penguasa, sederhananya di era informasi "orang menggunakan otak
bukan otot untuk membeli sembako".
Sepertinya sederhana & ceria sekali dunia mendatang, KKN menjadi hilang, penculikan & kegiatan
represif lainnya tidak ada. Apakah memang benar demikian? Apakah konsekuensi yang harus di
tanggung oleh bangsa ini dalam era mendatang ….
Sederhana sekali sebetulnya, hal-hal yang tadinya terpusat pada kekuasaan dan kemapanan
tampaknya akan tersebar pada rakyat banyak. Jadi kekuasaan yang tadinya terpusat akan tersebar
dipegang langsung oleh rakyat dibantu oleh teknologi informasi yang memungkinkan transfer
knowledge dengan cepat. Dengan tersebarnya knowledge & kekuasaan pada rakyat, maka secara
simultan uang, kekayaan & kekuatan ekonomi akan berada langsung pada massa yang banyak tidak
lagi terpusat pada segelintir penguasa & konglomerat yang menyimpan uangnya di Bank-Bank asing.
Penyebaran kekayaan langsung pada rakyat bukannya tanpa masalah, kompetisi antar anggota
masyarakat akan menjadi sangat tajam sekali untuk memenangkan / memperoleh bagian rizki-nya.
Disini letak kekuatan knowledge & skill, kompetisi yang sangat tajam akan mendorong berbagai
aliansi maupun tekanan pada dunia pendidikan utk membangun SDM berkualitas yang sangat
dibutuhkan. Faktor manusia menjadi demikian tinggi - amat sangat dominan & menentukan dalam
berbagai sendi kehidupan. Keberhasilan sebuah usaha akan amat sangat tergantung pada
kemampuan knowledge & skill SDM yang berada di belakangnya & bukan lagi pada koneksi / KKN.
Kebutuhan akan knowledge menjadi sedemikian besar sehingga pendidikan & knowledge menjadi
salah satu komoditi unggulan yang sangat diminati oleh banyak orang. Pengaturan secara terpusat
dari sebuah sistem pendidikan akan gagal, kompetisi akan mendorong terbentuknya berbagai
bentuk aliran pendidikan (formal, informal, terakreditasi, tersertifikasi, diakui, disamakan,
diacuhkan, dibiarkan) dengan tujuan yang sangat sederhana yaitu memberikan layanan knowledge
bagi rakyat. Dengan tinggi-nya kebutuhan / demand di rakyat utk memperoleh pendidikan /
knowledge dengan kapasitas bangku yang sangat terbatas maka tekanan pada kemapanan sistem
pendidikan akan sangat terasa.
Keberadaan teknologi informasi / internet, akan menambah tekanan yang ada menjadi tekanan &
tantangan yang sangat luar biasa bagi sistem pendidikan di Indonesia saat ini. Knowledge dapat
diperoleh dengan mudah melalui berbagai Web sites, diskusi di mailing list, chat melalui IRC. Pada
sisi ekstrim, knowledge tidak lagi terpusat pada guru / dosen, tidak lagi diperlukan sekolah, tidak lagi
diperlukan perguruan tinggi. Knowledge bisa diperoleh langsung dari rakyat banyak. Disini pola
pengajaran yang selama ini di anut akan memperoleh tantangan yang sangat besar dari keberadaan
knowledge yang demikian banyak yang terbuka bagi para siswa. Konsep learning based menjadi
sangat dominan dimana guru / dosen akan lebih banyak menjadi fasilitator. Siswa / mahasiswa akan
lebih cenderung menjadi lebih pandai dari gurunya - disini terjadi generation lap (kebalikan dari
generation gap). Konsep distributed knowledge yang bertumpu pada teknologi informasi akan
berjalan nyata utk akhirnya membentuk sebuah collective wisdom dari masyarakat. Kekuatan
kumpulan masyarakat pandai bertumpu pada teknologi informasi akan mengungguli pikiran seorang
professor sendirian.
Proses recognition / pengakuan akan dilakukan langsung oleh masyarakat, sertifikasi keahlian
dilakukan langsung oleh masyarakat profesional. Bahkan sertifikasi global seperti MCP, MCSE, MCT
dari Microsoft nilainya jauh lebih tinggi daripada ijasah ITB sekalipun utk mencari pekerjaan di dunia
komputer. Pengakuan keahlian seseorang akan dilakukan oleh masyarakat profesional dari hasil /
karya yang dia hasilkan bukan oleh dunia pendidikan tersebut. Jelas bahwa masyarakat (society)
yang akan melakukan audit / sertifikasi pada seseorang utk menyatakan bahwa orang tersebut
betul-betul ahli dalam bidangnya.
Tekanan pada dunia pendidikan sangat jelas, jadi mengapa kita perlu mempersulit berdirinya
sekolah? Mengapa kita perlu mempertahankan ujian negara bagi lulusan PTS? Mengapa DEPDIKBUD
perlu membentuk BAN PT utk mengakreditasi? Mengapa tidak kita serahkan pada mekanisme
masyarakat profesional dalam sebagian proses pendidikan yang ada? Semua pergeseran paradigma
ini merupakan tantangan & tekanan yang sangat nyata-nyata bagi DEPDIKBUD dalam era informasi
mendatang.
Belum lagi jika kita memperhatikan sistem kenegaraan, keberadaan sistem informasi yang demikian
cepat bukan hanya akan membuat sebuah negara menjadi lebih demokratis & transparan, akan
tetapi mungkin suatu saat nanti kekuasaan betul-betul berada di tangan rakyat - tanpa perlu lagi ada
sistem perwakilan, sistem kepartaian, sistem pemilu - mungkin konsep collective wisdom dapat
menggantikan fungsi MPR - barangkali?
Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberikan sedikit wawasan & pola pandang yang lain
khususnya dalam menyiapkan diri kita semua dalam menyongsong kompetisi global di era informasi
mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar